Sejarah 17 Februari: Lahirnya Ulama Sekaligus Sastrawan Indonesia, Buya Hamka
Ulama Muta-akhirin | SangMurid, Aug 17 2020
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka ini lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 tepat 112 tahun yang lalu. Adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia.
Beliau melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi, hingga akhirnya partai tersebut dibubarkan. Sejarah pun mencatat beliau juga adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam organisasi Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia pun menganugerahinya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Sebagai seorang penulis, beliau juga telah banyak melahirkan karya literasi semasa hidupnya, setidaknya ada 94 kumpulan karya Hamka. Belakangan beliau juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Buya Hamka merupakan anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga ulama Abdul Karim Amrullah dari istri keduanya Siti Shafiah. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat. Abdul Karim Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang sebagai ulama pembaharu Islam di Minangkabau dan sangat terkenal dengan keberaniannya untuk tidak memberikan hormat kepada penjajah Jepang Kala itu.
Saat usianya baru 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kecil kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.
Lalu, Hamka pun meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta.
Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya.
Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.
Buya Hamka, mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah.
Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal.
Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sebulan sekali. Majalah tersebut diberi nama “al-Mahdi”.
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat.
Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di ‘Pedoman Masyarakat’ merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.
Lalu, pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik dengan Masyumi.
Pada tahun 1950, setelah menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, Hamka pun melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Lalu pada awal 1960-an rezim Sukarno mulai bersikap keras terhadap lawan-lawan politiknya. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipaksa membubarkan diri akibat keterlibatan tokoh-tokoh mereka dalam Pemeritahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sementara itu PKI semakin akrab dengan kekuasaan.
Lalu, Pada 27 Januari 1964, Buya Hamka ditangkap di rumahnya dan kemudian dibawa ke Sukabumi untuk ditahan. Tuduhannya tak main-main: melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11. Ia dituding merencanakan pembunuhan terhadap Sukarno—suatu prasangka yang lebih mudah dinalar sebagai aksi politik penguasa ketimbang murni keputusan hukum.
Hamka pun memberi kesaksian bagaimana beratnya pemeriksaan ketika itu. Ia diperiksa selama 15 hari 15 malam. Tapi tak ada yang lebih memedihkan hatinya selain ucapan seorang pemeriksa: ”Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!”
Buya Hamka pun ditahan selama 2 tahun 4 bulan. Dalam beberapa kesempatan, Buya Hamka justru bersyukur dengan kejadian itu. “[…] saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu,” tutur Hamka.
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya.
Buya Hamka dikenal sebagai seorang Ulama sejuk. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam setiap komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada satu hal yang menarik dari Buya Hamka, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang segan kepadanya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi Hamka. Pada zamam pemerintah Sukarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’.
Tidak hanya berhenti di situ saja, Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI kala itu. Mungkin ini menjadi salah satu alasan kenapa akhirnya Buya Hamka dijebloskan ke penjara oleh Sukarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Sukarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu.
Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Lalu pada tanggal 24 Juli 1981 Buya Hamka tutup usia. Jasa dan pengaruhnya masih terasa hingga kini, tertama dalam perjuangan Syiar Islam dan Kesusastraan.
Sumber: bosscha.id