sang guru official https://robbirodliyya.org Ruang Silaturahim Buya KH. Tengku Zulkarnain & Para Ulama Aswaja Se-Indonesia Wed, 22 Jul 2020 04:45:00 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.3.4 https://robbirodliyya.org/wp-content/uploads/2020/05/cropped-logo_newSG-white-1-32x32.png sang guru official https://robbirodliyya.org 32 32 Cardina Hand Sanitizer https://robbirodliyya.org/cardina-hand-sanitizer/ Tue, 09 Jun 2020 04:40:16 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=20101

]]>
Cardina Squalene https://robbirodliyya.org/cardina-squalene/ Sun, 07 Jun 2020 16:26:37 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=19667
{{ brizy_dc_image_alt uid='wp-996b8b36ccc1d9bf47370f551109a1ec' }}

Nomor Registrasi

SD192354071

Tanggal Terbit

27-02-2019

Diterbitkan Oleh :

e-Registration Obat Tradisional & Suplemen Makanan (ASROT)

Direktorat Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik

Memiliki

99,9%

Tingkat kemurnian

Tetap cair walaupun di simpan dibawah -24° derajat celcius karena didapat dari ekstrak hati ikan hiu yang hidup di laut terdalam

Terdiri dari 30 softgel

Kemasan 500 mg

Keunggulan Utama SQUALENE

Anti Cardiovascular Disease

Mengandung Squalene murni yang mampu menghancurkan endapan lemak penyebab penyumbatan pembuluh darah jantung

O2 Booster

Berasal dari ekstrak hati ikan hiu jenis Aizame, yang hidup di laut dalam (500-1000 m) terbukti meningkatkan kadar oksigen murni paling tinggi

Super Antioxidant

Menangkal radikal bebas dan mencegah mutasi gen yang dapat memicu timbulnya kanker dan penyakit degeneratif

Improve Antibody

Kandungan alkoxyglicerol membantu sintesis hormon serta meningkatkan antibody dan daya tahan tubuh terhadap pandemik covid-19

Anti Aging

Mencegah proses penuaan, menghaluskan kulit dan meningkatkan stamina, tanpa efek samping karena sebagai zat adaptogen bersifat netral



APA ITU SQUALENE

Squalene adalah senyawa hidrokarbon berupa zat organik berupa cairan encer seperti minyak, akan tetapi ia bukan minyak karena tidak mengandung asam lemak atau gugusan COOH, berwarna semu kuning atau putih bening berbau khas.

keistimewaan dari skualen adalah daya uapnya yang rendah, titik bekunya di bawah -45ºC dan tetap bening pada suhu 20ºC serta mudah menangkap dan melepaskan oksigen.

{{ brizy_dc_image_alt uid='wp-7238f93ba91fdf31e8ac198e29ec7fac' }}

Squalene didistribusikan ke seluruh tubuh, namun mayoritas di kulit. Konsentrasi squalene yang tinggi dapat menghambat paparan tinggi sinar ultraviolet.

Squalene tertinggi kadarnya Diperoleh dari hasil ekstraksi hati ikan hiu dengan kandungan Squalene sangat tinggi (99,9%) dan cirinya yg unik yaitu tidak beku di suhu dingin ekstrim

(-45ºC) sangat baik untuk mencegah atau menghancurkan sumbatan pada pembuluh darah arteri jantung.

Senyawa aktifnya dengan rumus kimia C30H50 ternyata mampu mengikat secara aktif oksigen dalam tubuh, sehingga secara efektif mencegah oksidasi dan radikal bebas, meningkatkan sistem imun dan mencegah mutasi sel yang dapat memicu pertumbuhan tumor atau kanker

  • Terdiri dari 30 softgel
  • Kemasan 500 mg


]]>
KH Mas Abdurrahman, Ulama Kharismatik dari Menes https://robbirodliyya.org/kh-mas-abdurrahman-ulama-kharismatik-dari-menes/ Wed, 27 May 2020 15:29:55 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=19079

KH Mas Abdurrahman, Ulama Kharismatik dari Menes

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Namanya memang tak setenar KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Namun demikian, kontribusinya bisa disejajarkan dengan kedua nama tokoh besar Islam di nusantara tersebut. KH Mas Abdurrahman berperan penting dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia, terutama di wilayah Banten.

Salah satu kontribusinya dalam bidang pendidikan adalah perguruan pendidikan Islam Mathla’ul Anwar (MA) yang terletak di Menes, Pandeglang, Banten. Hingga kini perguruan MA itu masih berdiri kokoh dan sudah menyebar ke penjuru nusantara. Kini MA mendirikan lembaga pendidikan mulai TK hingga perguruan tinggi.

Siapakah sebenarnya sosok KH Mas Abdurrahman ini? Dia adalah salah seorang pendiri organisasi Mathla’ul Anwar (MA). Bersama sembilan tokoh Islam lainnya, KH Mas Abdurrahman mendirikkan Mathla’ul Anwar, yang berarti Tempat Terbitnya Cahaya.

KH Mas Abdurrahman dilahirkan di daerah Janaka, Pandeglang. Mengenai tahun kelahirannya, terdapat beberapa versi. Muhammad Idjen, dalam bukunya berjudul KH Mas Abdurrahman: Ulama Besar Kharismatik Dari Tutugan Gunung Aseupan, mengungkapkan bahwa Kiai Mas Abdurrahman dilahirkan pada 1882 di Kampung Janaka, tepatnya di lereng Gunung Aseupan, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang, dan wafat 1943.

Muhammad Nahid Abdurrahman dalam bukunya KH Abdurrahman Pendiri Mathla’ul Anwar menyebutkan bahwa KH Mas Abdurrahman lahir sekitar 1875 dan wafat pada 16 Agustus 1944 dan dimakamkan di Cikaliung Sodong, Kecamatan Saketi, Pandeglang, atau sekitar lokasi Perguruan Tinggi Mathla’ul Anwar.

Sementara itu, dalam buku berjudul Dirasah Islamiyah I: Sejarah dan Khittah MA yang diterbitkan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar disebutkan bahwa KH Mas Abdurrahman lahir pada 1868 dan wafat 1943.

Ayah KH Mas Abdurrahman bernama KH Mas Jamal, adalah sosok orang tua yang memiliki keinginan tinggi agar anaknya menjadi seorang ulama dan pendidik dalam memajukan umat. Karena pada saat itu kondisi bangsa Indonesia sedang kacau akibat penjajahan Belanda. Keluarga KH Mas Jamal berasal dari kalangan taat ibadah, bertekad untuk menyebarkan ajaran Islam dan memajukan pendidikan umat.

Untuk menularkan keilmuan yang dimilikinya, KH Mas Jamal menekankan pentingnya ajaran agama bahkan mengajar mengaji kepada putranya, KH Mas Aburrahman. Karenanya, KH Mas Abdurrahman kerap ikut mengaji bersama ayahnya, meski harus mendaki gunung. Terkadang, sang ayah terpaksa menggendongnya, karena tidak kuat naik gunung.

KH Mas Abdurrahman pernah belajar pada KH Shahib. Setelah cukup dewasa, ia dimasukkan ke sebuah Pondok Pesantren Alquran yang berada di daerah Serang. Di sini, ia berada di bawah bimbingan KH Ma’mun yang merupakan seorang guru spesialis dalam bidang Alquran.

Saat usia 10 tahun, ayahnya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di saat sedang melaksanakan haji, sang ayah meninggal. Jasadnya kemudian dikuburkan di Tanah Suci. Kendati demikian, peristiwa tersebut tidak membuatnya larut dalam kedukaan. Sebaliknya, ia selalu berdoa agar bisa pergi ke tanah suci yang tujuannya untuk ibadah haji, menuntut ilmu, dan melihat makam ayahnya.

Dikutip dari berbagai sumber tulisan

Berhubungan dengan profil ulama aswaja

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’22’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
KH. Ahmad Dahlan dan Pergerakan Dakwahnya https://robbirodliyya.org/kh-ahmad-dahlan-dan-pergerakan-dakwahnya/ Wed, 27 May 2020 15:18:43 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=19034

KH. Ahmad Dahlan dan Pergerakan Dakwahnya

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkum¬pulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersa¬lahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap memba¬ngun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.

Muhammadiyah juga dituduh hendak mengada¬kan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.

Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pemba¬haruan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :

1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.

3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.

4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Dikutip dari Muhammadiyah.or.id

Berhubungan dengan profil ulama aswaja

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’22’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
KH. Ahmad Dahlan https://robbirodliyya.org/kh-ahmad-dahlan/ Wed, 27 May 2020 15:10:42 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=18994

KH. Ahmad Dahlan

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi bernama Muhammad Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada akhirnya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912.

Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.

Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).

Demikian mata rantai silsilah itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.

Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).

Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:

“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya.”

Dikutip dari Muhammadiyah.or.id

Berhubungan dengan profil ulama aswaja

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’22’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari https://robbirodliyya.org/riwayat-pendidikan-kh-m-hasyim-asyari/ Wed, 27 May 2020 15:00:10 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=18934

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa,

“Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ariAdapun

di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi

kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang

antara lain:

1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan

Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.

2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah

Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.

4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.

5. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

6. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah

Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.

dikutip dari tebuireng.online

Berhubungan dengan profil ulama aswaja

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’22’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
KH. Hasyim Asy’ari https://robbirodliyya.org/kh-hasyim-asyari/ Wed, 27 May 2020 14:51:46 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=18892

KH. Hasyim Asy’ari

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.

Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hasyim hingga akhir hayatnya.

dikutip dari tebuireng.online

Berhubungan dengan profil ulama aswaja

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’22’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
Imam Hambali https://robbirodliyya.org/imam-hambali/ Wed, 27 May 2020 13:14:33 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=18803

Imam Hambali

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Ulama penting yang rendah hati itu bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu `Abdullah al-Shaybani. Ia terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H.

Ada pula yang menyebut sang Imam lahir di Baghdad, Irak. Saat berada dalam kandungan sang bunda, Imam Ahmad bin Hanbal diajak ibunya hijrah ke metropolis intelektual dunia ketika itu, yakni Baghdad.

Sejak masih bayi, Imam Ahmad bin Hanbal sudah menjadi anak yatim. Ia dibesarkan oleh sang ibu seorang diri. Ia merupakan keturunan dari suku Shayban. Sejak belia, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan anak seusianya. Ia dikenal sebagai anak yang alim, bersih, dan senang menyendiri. Kecintaan dan rasa takut untuk berbuat dosa kepada Allah SWT telah terpatri dalam hati nurani Ahmad bin Hanbal sejak dini.

Syahdan, sang paman, suatu hari memintanya menjadi seorang informan untuk khalifah. Ia diminta untuk menyerahkan dokumen berisi informasi sejumlah orang untuk diserahkan ke kantor khalifah. Meski masih anak-anak, Ahmad bin Hanbal tahu apa yang dilakukannya adalah hal yang bertentangan dengan nurani. Suatu hari sang paman menanyakan dokumen itu.

“Aku tak akan menyerahkan dokumen itu dan aku telah membuangnya ke laut,”

tutur Ahmad bin Hanbal.

Sang paman pun dibuat takjub dengan sikap dan keberanian keponakannya itu.

“Anak kecil ini ternyata sangat takut kepada Allah. Lalu, bagaimana dengan kita?”

ucap sang paman dengan perasaan malu, karena anak kecil ternyata lebih takut kepada Sang Khalik, dibanding dirinya.

Fikih adalah ilmu agama pertama yang dipelajarinya secara khusus. Ia berguru pada Abu Yusuf–murid terkemuka sekaligus sahabat Abu Hanifah. Setelah mempelajari fikih, Ahmad bin Hanbal lalu menimba ilmu hadis. Ia melanglang buana dari satu negeri Islam ke negeri lainnya demi mendapatkan ilmu yang dicarinya. Petualangan menimba ilmu itu dilakukannya saat dia berusia 16 tahun.

Sebagai seorang murid yang cerdas dan baik, Ahmad bin Hanbal disayangi oleh semua gurunya. Ia pun selalu menaruh hormat kepada semua gurunya tanpa membeda-bedakan. Gurunya terbilang sangat banyak. Ibnu Al-Jawzi menuturkan, Imam Ahmad bin Hanbal memiliki 414 guru hadis.

Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.

Salah seorang guru yang paling dicintainya adalah Imam Syafi’i. Ia begitu bangga kepada kemampuan sang guru yang luar biasa dalam ilmu fikih.

Berhubungan dengan para sholihin

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’21’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) https://robbirodliyya.org/imam-abu-hanifah-imam-hanafi/ Wed, 27 May 2020 13:09:09 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=18767

Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi)

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya yaitu Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.

Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.

Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.

Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.

Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.

Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.

Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”

Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.

Berhubungan dengan para sholihin

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’21’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>
Imam Malik bin Anas https://robbirodliyya.org/imam-malik-bin-anas/ Wed, 27 May 2020 12:59:41 +0000 https://robbirodliyya.org/?p=18725

Imam Malik bin Anas

{{brizy_dc_post_author_name}} {{brizy_dc_post_date}} {{brizy_dc_post_tax_category}} {{brizy_dc_post_tax_post_tag}}{{brizy_dc_comments_count}}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

Salah seorang ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan dan pembukuan hadis adalah imam besar umat ini yang berasal dari Kota Madinah, ia adalah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah orang pertama yang membukukan hadits dalam kitabnya al-Muwatta.

Beliau adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.

Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya, radhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.

Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat. Kemudian Imam Malik pun mengikuti jejak saudaranya dalam mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam Malik melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya semakin tampak karena Malik juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.

Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”

Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak memperoleh manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak mengetahu suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan ‘aku tidak tahu’.

Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi, di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.

Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab lainnya.

Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits setampan Malik.”

Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja.

Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya. Demikian juga saat murid-muridnya berbicara dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara. Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.

Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.”

Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,

إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب

“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas

(menghafalnya pen.).

Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)

Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”

Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat hendak mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan kebiasaan beliau.

Hendaknya demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat shalat berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan Allah mencintai keindahan.

Sering kita dapati ketika membaca biografi orang-orang shaleh bahwasanya mereka memiliki firasat yang tajam. Demikian juga dengan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Imam Syafii mengisahkan tentang gurunya ini sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat sang guru. Kata Imam Syafii, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik, kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia berfirasat tentangku. Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku Muhammad.’. Ia kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau akan mendapatkan suatu keadaan (menjadi orang besar pen.).”

Imam Malik rahimahullah wafat di Kota Madinah pada tahun 179 H/795 M dengan usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.

Berhubungan dengan para sholihin

{{ brizy_dc_post_loop count=’4′ taxonomy=’category’ value=’21’ order=’ASC’ orderby=’rand’ }}

{{ brizy_dc_image_alt placeholder='brizy_dc_img_featured_image' }}

{{brizy_dc_post_title}}

{{end_brizy_dc_post_loop}}

]]>