Iram: Kota Kuno nan Megah & Mewah yang Sirna serta Sarat Misteri
Sejarah | SangMurid, Aug 16 2020
“Tidakkah engkau lihat, bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap (orang-orang) ‘Ad. Dari (Kota) Iram yang memiliki bangunan tinggi? Tidak diciptakan (kota) yang semacam itu di seluruh negeri.” (QS Al-Fajr [89]: 6-8).
“MENGAPA Iram hingga kini belum juga berhasil ditemukan. Secara pasti?”
Kota bernasib tragis tersebut, ada yang menyatakan adalah Damaskus, Suriah. Ada pula yang menyatakan: Iram adalah Alexandria, Mesir. Juga, ada yang menyatakan bahwa Iram adalah sebuah kota yang didirikan oleh Raja Syaddad bin ‘Ad bin ‘Aus bin Aram bin Sam (Shem) bin Nabi Nuh Alaihissalam, antara 3.000-500 sebelum Masehi. Konon, mereka tinggal di Gurun Pasir Al-Ahqaf dan mendiami kawasan semenanjung luas yang membentang dari Teluk Oman hingga Hadhramaut dan Yaman di ujung selatan Laut Merah.
Menurut catatan beberapa sejarawan, Syaddad bin ‘Ad, kaisar agung kaum ‘Ad, membangun sebuah kota megah. Dengan istana nan mewah serta taman nan indah itu dengan tujuan meniru surga di langit. Ya, meniru surga di langit. Hal itu untuk “memberikan kesan bahwa dirinya adalah tuhan yang patut mendapatkan pujian”. Namun, sebelum Syaddad bin ‘Ad menikmati “surga di bumi” yang ia bangun itu, ia berpulang ketika melakukan perjalanan. Ke berbagai kawasan di bawah kekuasaannya.
Sirna karena Dihajar Badai Pasir
Berkaitan dengan kaum ‘Ad ini, dituturkan bahwa Allah SWT mengutus Nabi Hud Alaihissalam (seorang Nabi yang, konon, selepas berpulang dikebumikan di wilayah Al-Ahqaf dan kuburannya hingga kini merupakan tempat yang diziarahi). Tetapi, mereka menolak ajakan lurus sang Nabi. Akibatnya, Allah SWT pun menghancurkan mereka. Dengan mengirim angin topan kencang.
Akibatnya, kota yang makmur dari hasil perdagangan rempah-tempah dan sebagai pusat perdagangan antara Timur Tengah dan Eropa serta Asia Selatan dan Tenggara itu hilang dari peredaran masa. Nasib dan kisahnya mirip dengan nasib dan kisah Sodom dan Gomorah. Sayangnya, tiada catatan yang jelas di mana kota yang bernasib malang itu berada.
Dalam kaitannya dengan kaum Nabi Hud Alaihissalam ini, Allah SWT dalam Al-Quran, antara lain, berfirman:
“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Sekali-kali tiada bagimu Tuhan selain Dia. Kalian hanya mengada-adakan saja. Wahai kaumku! Aku tidak meminta upah bagi seruanku ini. Upahku tak lain hanyalah dari Allah. Yang telah menciptakan aku. Karena itu, tidakkah kalian memikirkan(nya)?’ Dan (dia berkata pula), ‘Wahai kaumku! Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian. Lalu, bertobatlah kepada-Nya.
Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atas kalian dan Dia akan menambahkan kekuatan kalian. Dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.’ Kaum ‘Ad pun berkata, ‘Hai Hud! Engkau (ternyata) tidak (dapat) mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata. (Karena itu), kami sama sekali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu. Dan, kami sama sekali tidak akan mempercayai dirimu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.’
Hud Alaihissalam pun menjawab, ‘Sungguh, aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah oleh kalian bahwa sungguh aku berlepas diri dari sesuatu yang kalian persekutukan dari selain-Nya. Karena itu, lakukanlah tipu daya kalian semua terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sungguh, aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kalian.
Tiada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sungguh, Tuhanku di atas jalan yang lurus. Jika kalian berpaling, sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepada kalian.
Dan Tuhanku akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain (dari) kalian; dan kalian tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikit pun. Sungguh, Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.’ Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.” (QS Hûd [11]: 50-58).
Misteri yang mewarnai Iram, yang sirna dari peredaran masa itu, ternyata sejak lama telah mampu membangkitkan rasa ingin tahu orang. Apalagi Claudius Ptolemeus (sekitar 150 M), seorang ahli astronomi dan geografi asal Alexandria, Mesir, memasukkan kota itu dalam petanya dalam karyanya berjudul Geographia.
Tentang Semenanjung Arab. Selain itu, Ptolemeus juga mencatat nama para penguasa dan kemegahan kota itu. Menurut catatan Ptolemeus selanjutnya, Iram lenyap dari peredaran masa karena dihajar badai gurun pasir. Yang bergulung-gulung sangat ganas. Kisah kemusnahan Iram menurut versi ahli astronomi asal Mesir itu, ternyata, sesuai dengan uraian lain tentang Iram yang dikemukakan dalam Al-Quran, “Kaum ‘Ad telah mendustakan (kebenaran). Akibatnya, betapa (dahsyat) azab-Ku dan ancaman-Ku! Telah Kami lepaskan kepada mereka angin kencang menderu-deru. Pada hari yang dahsyat. Merenggut manusia seperti (mencabut) pohon kurma, tercabut akar-akarnya.” (QS Al-Qamar [54]: 18-20).
Para ahli tafsir Al-Quran sendiri, seperti telah dipaparkan di muka, tidak seiring pendapat tentang letak “Kota Seribu Bangunan” itu. Dalam Kitâb Tafsîr Al-Thabarî, misalnya, dikemukakan sejumlah pendapat tentang kota itu. Ada yang menyatakan, yang dimaksud dengan Iram adalah Alexandria, Mesir.
Ada pula yang menyatakan, Iram terletak di Suriah. Selain itu, ada juga yang menyatakan, kota itu terletak di Yaman. Sedangkan Sayyid Quthb menyatakan, dalam karya tafsirnya Fî Zhilâl Al-Qur’ân, Iram terletak di antara Hadhramaut dan Yaman.
Bukan luar biasa bila selubung misteri yang menyelimuti Iram kemudian membangkitkan kisah imajinatif. Kisah Seribu Satu Malam (Alf Lailah wa Lailah) salah satu di antaranya. Dalam karya sastera klasik tersebut, pada kisah malam-malam ke 277-279, juga dikemukakan tentang Iram nan megah dan mewah yang berselubung misteri itu. Dalam perjalanan masa selanjutnya, misteri Iram tetap menarik perhatian berbagai pihak. Baik dari kalangan para ilmuwan maupun para petualang. Namun, upaya mereka gagal total. Misteri Iram tetap tidak terpecahkan. Hingga kini!
Misteri yang menyelimuti Iram itu pulalah yang memicu Bertram Sydney Thomas, seorang ilmuwan lulusan Trinity College, Universitas Cambridge, Inggris dan seorang petualang, mengarungi Gurun Rub‘ Al-Khali: salah satu gurun pasir terluas di dunia. Yang membentang di bagian selatan Semenanjung Arab. Petualangan itu ia lakukan antara 1930-1931 M.
Dalam petualangan tersebut, berbekalkan peta Ptolemeus, mantan Direktur Middle East Centre for Arab Studies dan penasihat Shell Group ini menyaksikan suatu pemandangan yang menakjubkan: rute kafilah yang membentang ratusan kilometer. Di tengah-tengah perbukitan gurun yang sunyi dan sepi.
Rute itu menuju ke arah utara. Ia berkeyakinan, rute misterius itu menuju Iram yang juga dikenal dengan sebutan “Kota yang Sirna”. Selain dengan sebutan terakhir, petualang yang juga penulis beberapa buku itu, antara lain The Arabs: The Epic Life Story of a People Who Have Left Their Deep Impress on the World, juga menyebutnya sebagai “Ubar”. Sebutan itu berasal dari Perjanjian Lama.
Proyek untuk Menemukan Iram
Sepulang dari petualangan tersebut, Bertram S. Thomas kemudian berupaya mengoordinasikan suatu proyek. Tujuannya: menemukan kembali kota yang sangat misterius itu. Ia kemudian menuliskan kisah petualangannya dalam sebuah karya berjudul Arab Felix. Sayang, pada Rabu, 27 December 1950 M, di Kairo, Mesir, kematian merenggutnya. Sebelum proyek itu berhasil dilaksanakan.
Ketika mengetahui nasib proyek yang terbengkalai tersebut, T.E. Lawrence, yang terkenal dengan sebutan Lawrence of Arabia, melanjutkan proyek itu. Lagi-lagi, kematian yang merenggut petualang asal Inggris itu, pada 1953, membuat proyek itu terabaikan. Jejak T.E. Lawrence kemudian dilanjutkan oleh John Hopkins, seorang ahli arkeologi kondang. Namun, lagi-lagi, proyek itu kurang bernasib baik. Gagal!
Karya Bertram S. Thomas tersebut di atas kemudian sampai ke tangan Nicholas Clapp, seorang sutradara sekitar 70 film dokumenter. Sutradara yang satu ini kerap mengunjungi Timur Tengah. Selain sebagai sutradara, ia juga seorang penulis sejumlah buku. Antara lain The Road to Ubar: Finding the Atlantis of the Sands, Sheba: Through the Desert in Search of the Legendary Queen, dan Who Killed Chester Pray? A Death Valley Mystery.
Terkesan dengan kisah petualangan Bertram S. Thomas, Nicholas Clapp pun terpikat untuk mengikuti jejak pendahulunya itu. Di sisi lain, berbagai kegagalan yang mewarnai proyek Bertram S. Thomas membuat Nicholas Clapp berhati-hati. Ia bertekad tidak mau mengalami nasib serupa: gagal!
Oleh karena itu, Nicholas Clapp pun mengajak seorang temannya, George Hedges, seorang pengacara di California, Amerika Serikat. Mereka kemudian membentuk sebuah tim. Mereka kemudian mengajak serta Prof. Dr. Juris Zarins, seorang arkeolog dan guru besar di Missouri State University, Amerika Serikat dengan spesialisi tentang Timur Tengah, Ronald G. Blom, seorang ahli geologi dan penginderaan jarak jauh, dan Sir Ranulph (Ran) Fiennes, seorang warga Inggris yang dekat dengan Sultan Oman, Qabus bin Sa‘id, dan seorang penulis terkemuka sejumlah karya. Antara lain Where Soldiers Fear to Tread, To The Ends of the Earth, Atlantis of the Sands: The Search for the Lost City of Ubar, Mind Over Matter: The Epic Crossing of the Antarctic Continent, Captain Scott, dan Portraits of Adventure.
Berkat jasa Sir Ranulph Fiennes, izin penelitian segera mereka dapatkan. Selain itu, mereka mendapatkan bantuan dana yang cukup besar, 150 juta dolar Amerika Serikat, dari Oman International Bank, Gulf Air, dan Al-Bustan Palace Hotel. Dengan izin dan dana yang cukup tersebut, mereka pun leluasa bergerak.
Yang pertama-tama mereka lakukan adalah memelajari hasil-hasil foto satelit Landsat 5, milik Amerika Serikat, dan satelit SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre), milik Perancis. Ternyata, foto-foto itu memerlihatkan adanya bekas rute kafilah yang menuju Ubar, yang diperkirakan merupakan nama lain “Iram”. Sayang, foto-foto itu kurang lengkap.
Tim itu kemudian, pada musim panas 1990 M, memelajari foto-foto hasil jepretan pesawat ulang-alik Challenger yang pernah melintasi Oman. Hasilnya luar biasa: bekas sebuah kota di bawah timbunan gurun pasir terkuak lewat foto-foto itu. Terkuaklah misteri Ubar, sebuah kota yang kerap pula disebut dalam puisi-puisi pra-Islam.
Beberapa tahun kemudian, pada April 1994 M, penemuan Kota Ubar itu dikuatkan oleh pengindraan jauh oleh pesawat ulang-alik Endeavour dengan menggunakan Spaceborne Imaging Radar C/X-Band Synthetic Aperture Radar (SIR-C/X-SAR).
Benarkah Ubar, yang terkenal dengan sebutan “Atlantis of the Sands”, adalah Iram seperti yang dikemukakan dalam Al-Quran? Banyak ulama dan ilmuwan yang meragukannya.
Di sisi lain, kisah tentang Iram, seperti dikemukakan dalam Al-Quran, mengandung pengajaran dan pelajaran indah bagi kita semua: kesombongan dan pengingkaran terhadap Allah Swt. akan bernasib malang. Akankah kita melakukan tindakan serupa? Semoga tidak. Wallahu a‘lam bi al-shawab
Sumber: senayanpost.com